Rabu, 29 Juli 2009

Fisika Teori + Bioscience = Biofisika Teori : embrio peradaban baru masa depan ?

L.T. Handoko (Pusat Penelitian Fisika LIPI)

Fisika teori ? Bioscience ? Tentu siapapun, minimal pembaca setia media massa, sudah terbiasa mendengarnya. Tak pelak lagi, fisika teori yang merupakan kajian ilmu eksakta tertua telah jamak dikenal sebagai dasar dari semua peradaban manusia modern dewasa ini. Tak heran artikel populer fisika bertebaran di seantero dunia dengan topik beragam untuk berbagai tingkatan pembaca dan usia. Di Indonesia saja, setidaknya tercatat lebih kurang 500 artikel populer telah diterbitkan di berbagai media massa sejak tahun 2000 seperti tercatat di portal fisik@net (http://www.fisika.net). Ini masih ditambah dengan aneka buku populer untuk anak-anak serta aneka kegiatan lapangan, kompetisi fisika yang dimotori oleh kelompok Yohanes Surya dkk. Bahkan pada tahun-tahun terakhir ini seolah menjadi gelombang baru yang berpotensi mengubah cara pandang masyarakat awam terhadap fisika.

Dilain sisi, bioscience yang meliputi seluruh aspek kajian ilmu hayati (biologi, pertanian, kedokteran, dll) memiliki sejarah yang lebih panjang lagi, bahkan mungkin sejak awal keberadaan manusia. Manusia seolah ditakdirkan untuk selalu berupaya memahami diri dan mahkluk hidup di sekitarnya sebagai bagian dari tuntutan hidup untuk bertahan menghadapi keganasan alam. Namun, dibandingkan dengan tingkat kecepatan perkembangan teknologi yang dimulai dari fisika teori sejak era Newton, perkembangan pemahaman manusia akan dinamika dan mekanisme organisme sangat lambat. Bahkan sampai detik ini, pemahaman akan mekanisme organisme didasarkan pada kebiasaan, statistik maupun observasi langsung yang tentu saja bersifat subyektif. Ini bisa dilihat pada misalnya ilmu pengobatan, sehingga tidaklah mengherankan bila proses pengembangan suatu obat baru memerlukan waktu sangat lama dan percobaan dengan frekwensi dan sample dalam jumlah besar. Tidakkah ada cara lebih baik untuk mengatasi hal-hal semacam ini yang berujung pada produk akhir (misalnya obat) yang berharga mahal ?

Untuk itulah bioscience memasuki era baru di abad ini, yaitu dengan berusaha memahami mekanisme organisme hidup pada level yang lebih elementer seperti DNA dan gen. Hal ini bukan suatu hal mudah, tetapi penuh tantangan dan menjadi trend-setter dunia sains. Bahkan dewasa ini, melalui rekayasa biologi dan bioteknologi banyak dilakukan ujicoba pemakaian DNA untuk substitusi alat elektronik seperti transistor DNA dsb. Terobosan-terobosan semacam ini bahkan telah dirintis sebelum mekanisme DNA dalam organisme hidup dipahami sempurna. Inilah salah satu bentuk efek sampingan dari terobosan penelitian dasar.

Dipercaya bahwa memahami mekanisme organisme hidup akan jauh lebih mudah dengan mulai dari memahami elemen dasar pembentuknya seperti DNA diatas. Pola pikir semacam ini sebenarnya persis sama dengan apa yang dilakukan oleh para fisikawan teoritik pada awal perkembangan fisika partikel di awal abad 20. Dengan memahami partikel-partikel elementer pembentuk materi dan interaksi-interaksi yang bekerja diantaranya, manusia akhirnya mampu menjelaskan aneka fenomena alam. Ini bisa dipahami dengan mudah karena jumlah partikel elementer sangat terbatas, hanya 16 buah yang telah dikenal, dibandingkan dengan misalnya jumlah unsur kimia yang lebih dari seratus. Karena pada prinsipnya seluruh materi makroskopis pasti terbentuk dari materi mikroskopis, maka teori pada level mikroskopis harus bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena makroskopis. Sehingga tidaklah mengherankan bila seluruh teori sains berbasis teori interaksi di fisika partikel.

**

Memasuki abad bioteknologi ini kemudian banyak melahirkan pionir-pionir yang mengimplementasikan teori interaksi di fisika partikel untuk menggali pemahaman baru akan dinamika organisme hidup elementer semacam DNA. Usaha ini banyak dirintis oleh para fisikawan teori dengan modal pola pikir diatas. Diyakini dengan pemahaman akan mekanisme organisme elementer, kelak diharapkan fenomena makroskopis organisme hidup bisa dijelaskan dan diprediksi dengan akurat dan mudah.

Hal yang sama juga dilakukan oleh penulis dengan memakai pendekatan baru berbasis interaksi dan dinamika fluida (cairan) non-linier. Dinamika fluida non-linier merupakan salah satu dari masalah pelik dalam fisika yang belum terpecahkan hingga saat ini. Meski demikian teori dan pemahaman dinamika fluida secara umum sudah dikenal luas dan diaplikasikan di berbagai aspek kehidupan umat manusia. Mulai dari teknik konstruksi yang terkait dengan air (bendungan, dll) maupun teknik penanganan bahan khusus (minyak, gas, dll).

Namun berbeda dengan pendekatan fluida umumnya yang berbasis mekanika klasik di era Newton, grup penelitian penulis sejak awal tahun 2005 telah berhasil mengembangkan metoda baru penanganan dinamika fluida dengan metoda yang telah dikenal di fisika partikel. Meski awalnya pengembangan ini dimotivasi oleh masalah terkait dengan kosmologi, pada perkembangannya salah satu anggota grup, A. Sulaiman, menemukan salah satu aplikasi sampingan di biofisika. Yaitu untuk menjelaskan perlambatan gerak DNA dalam suatu medium. Dengan memodelkan DNA sebagai materi yang berada dalam suatu medium yang dimodelkan sebagai fluida, diperoleh penjelasan teoritik penurunan besaran amplitudo dinamika DNA yang berperilaku sebagai gelombang soliton.

Hasil ini merupakan satu contoh kecil kemungkinan konvergensi antara fisika teori dan bioscience pada level kuantum (fisika) dan organisme elementer (ilmu hayati). Ini bahkan berpotensi kemungkinan integrasi antara keduanya. Selama ini, meski kedua kajian ilmu ini merupakan pilar utama sains modern, pada prakteknya keduanya tidak bersinggungan dan bahkan terkesan berjalan sesuai dengan kaidahnya sendiri-sendiri. Namun dengan kecenderungan mutakhir, niscaya era 'ketidaksahabatan' ini akan segera berakhir demi kemajuan peradaban umat manusia di era 'biokuantum'. Semoga !

1. Pemodelan DNA helix sebagai gelombang soliton, untuk kemudian kajian sifat mekanis dan dinamikanya dilakukan memakai hukum-hukum fisika.

2. Bergambar bersama para mahasiswa setelah acara perpisahan mahasiswa yang akan melanjutkan studi ke luar negeri, Chandi Wijaya (no. 3 dari kiri), di rumah pribadi.

Sumber : Pikiran Rakyat (15 Desember 2005)

Biofisika molekuler air

Berita mengenai air sedang

menghangat di akhir tahun 2007, berbagai
bencana yang terjadi di negeri ini sebagian disebabkan oleh air (banjir,
longsor), hal ini kontras dengan kejadian di trismester pertama tahun 2007,
dimana berbagai kekeringan melanda negeri ini. Air, air, dan air!!! Disatu sisi memang sangat dibutuhkan oleh
mahluk hidup, apapun jenisnya, bahkan dikatakan tidak ada kehidupan tanpa air.
tetapi disisi lain juga menyebabkan masalah. Meskipun secara kimiawi air
merupakan struktur yang sederhana jika dibanding dengan struktur biomolekul,
tetapi sistem biologi (sistem dasar dalam kehidupan) sangat membutuhkannya,
karena lebih dari 80% tubuh mahluk hidup (termasuk sel-sel pembangunnya)
terdiri dari air. Keunikan air sungguh luar biasa, terutama kontribusinya dalam
stabilitas biomolekul. Jika kita mengingat kembali pada ilmu kimia di sekolah
menengah, maka kita mengetahui nahwa air terdiri dari atom oksigen dan dua atom
hidrogen. Ketiga atom tersebut membentuk
struktur air dengaan sudut sekitar 104,5o dan ternyata konfigurasi
molekuler air seperti demikian memberi keuntungan yang luar biasa pada sistem
biologi.
Berbagai kontribusi air
dalam sistem biologi bisa diamati sebagai berikut :
1. Sifat kohesi internal dari air menyebabkan kemampuannya menarik sesama
biomolekul menjadi dekat satu sama lain.
2. Panas spesifik yang tinggi menyebabkan suhu air tidak mudah meningkat
begitu saja, hal ini sangat penting dalam menjaga kelangsungan kehidupan.
Dibutuhkan panas yang tinggi untuk meningkatkan suhu air sebesar 1oC.
3. Panas penguapan yang tinggi yang menyebabkan air tidak mudah menguap
begitu saja, secara fisik dapat dirasakan bahwa air mampu memberi kesejukan (cooling effect) saat kita haus dan
meminumnya.
4. Kemampuan air melarutkan sebagian besar bahan dalam sistem biologis
seperti karbohidrat, asam amino, bahkan protein dan asam nukleat yang menjadikannya
sebagai pelarut universal.
5. Sifat pelincir dan pelindung dari air diakibatkan interaksinya dengan
biomolekul seperti protein dalam bentuk air liur (saliva) yang terdapat di
rongga mulut dan saluran pencernaan.
Berbagai interaksi air dan komponen dalam sistem
biologi inilah banyak menarik perhatian para ahli biofisika untuk
mempelajarinya lebih lanjut. Sebagai contoh, coba, apa yang anda rasakan keluar
dari rongga mulut saat anda makan sesuatu yang rasanya ekstrim seperti asam
atau cabai? Juga saat anda makan nasi saja tanpa minum, apa yang mungkin anda
rasakan. Banyak teori yang membahas mekanisme interaksi antara air dan
biomolekul seperti protein dan asam nukleat, beberapa teori tersebut
menyimpulkan bahwa air berkontribusi dalam membantu aktivitas biomolekul,
bahkan sampai ke tingkatan sub-molekuler (tinkatan interaksi antar atom
penyusun biomolekul). Pembentukan struktur heliks ganda pada asam deoksiribo
nukleat (DNA) serta stabilitasnya sangat dibantu oleh air yang berada di
sekelilingnya. Gangguan stabilitas molekul DNA bisa berbahaya bagi keturunan
yang dihasilkan.
Dinamika air dalam sistem biologi juga sangat
penting, sebagai contoh, kelancaran sirkulasi darah sangat ditentukan dengan
daya kapilartias air (kemampuan air untuk memasuki saluran berbentuk pipa yang
sangat kecil seperti pembuluh darah tepi yang bergaris tengah sangat kecil/
pembuluh kapiler). Ketidak seimbangan kandungan zat kimia dalam darah (sebagai
contoh tingginya kadar lemak dan kolesterol dalam darah) bisa mempengaruhi
sifat kapilaritas ini yang berakibat sulitnya darah merembes pada pembuluh
kapiler tepi. Jika hal ini terjadi di organ vital seperti jantung akan
bermasalah dan sangat berbahaya, karena akan mematikan!!! Stroke merupakan
salah satu contoh dari dampak masalah kapilaritas air di sistem saraf, dimana
aliran darah sulit mencapai pembuluh darah di otak atau saraf tepi yang sangat
halus dan kecil. Masih banyak berbagai kasus pada manusia dan hewan yang
berdasarkan pada daya dan sifat kapilaritas air. Pada tanaman, sistem pembuluh
kapilernya memampukan air mencapai daun yang terletak tinggi diatas tanah,
terutama daun pada tanaman yang sangat tinggi. .

Aplikasi molecular marker (Molecular Systematic)

Marker molekular seperti RAPD, SSR, RFLP dan lain-lain banyak digunakan untuk mengevaluasi keanekaragaman organism. Di bidang taksonomi molecular marker dapat dimanfaatkan untuk mengatasi konflik taksonomi misalnya jika terdapat organisme yang sulit dikelompokkan berdasarkan fenotipenya. Demikian juga di bidang evolusi, molecular marker dapat digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan.

Filogeni

Filogeni merupakan deskripsi hubungan gen, protein atau spesies. Dalam filogeni diasumsikan objek yang diteliti berhubungan melalui evolusi. Pohon filogeni digunakan untuk menunjukkan hubungan evolusi antar organism. Analisis filigenetik ini memerlukan data yang tepat untuk menentukan pohon filogenetik yang tepat.

Data yang tepat tersebut berupa (1) taxa, yaitu kelompok organisme yang ingin diketahui hubungan evolusinya, (2) karakter yaitu daftar sifat organisme dan beberapa anggota kelompok memiliki sifat yang berbeda (character states).

Pendekatan klasik dalam filogeni menggunakan karakteristik morfologi untuk mempelajari hubungan anar spesies. Selanjutnya berkembang Molecular Phylogeny, yang menggunakan data molekuler untuk menentukan hubungan antar spesies. Molecular phylogenetics bertujuan menentukan kecepatan dan pola-pola perubahan yang terjadi pada DNA dan protein dan merekonstruksi evolutionary history gen dan organisme.

Data dapat berupa karakteristik yang bervariasi seperti:

- urutan/sekuens protein

- hibridisasi DNA

- frekuensi gen

- urutan/sekuens DNA

- data imunologi

- pola-pola restriksi

Komponen dari pohon filogeni ditampilkan pada Gambar 1. Tiap kelompok (branch) mewakili clade atau kelompok monophyletic, sebuah kelompok yang terdiri dari semua sampel keturunan dari satu garis nenek moyang.

Gambar 1. Komponen pohon filogeni

l Node: mewakili unit taksonomi. Dapat berupa spesies yang ada sekarang (exist) atau nenek moyang (ancestor).

l Branch: menyatakan hubungan antara taxa dalam hal descent dan ancestry.

l Topology: pola-pola percabangan pohon kekerabatan/filogeni.

l Branch length: mewakili jumlah perubahan yang terjadi pada cabang.

l Root: nenek moyang umum (common ancestor) dari semua taxa.

l Distance scale: skala yang mewakili jumlah perbedaan antara organisme atau sekuens.

l Clade: sebuah kelompok dari dua atau lebih taxa atau sekuens DNA termasuk common ancestor dan seluruh keturunannya (descendents).

l Operational Taxonomic Unit (OTU): level taksonomi sample yang diseleksi oleh pengguna yang akan digunakan dalam studi, misalnya individu, populasi, spesies, genus atau strain bakteri.

Karakter data yang digunakan dalam analisis dapat kuantitatif atau kualitatif. Karakter kuantitatif menunjukkan distribusi kontinu yang dibagi berdasarkan interval. Karakter kualitatif diklasifikasikan berdasarkan karakter biner atau multistate. Karakter biner memiliki 2 state yang diwakili oleh ada atau tidak ada hal/item tertentu seperti band-band pada analisis RAPD atau marker molecular lainnya. Karakter multistate memiliki tiga atau lebih state, misalnya data sekuens nukleotida.

Hubungan antara sepasang sampel diukur sebagai nilai similarity atau distance. Nilai similarity memiliki rentang dari 0 sampai 1 atau 0 sampai 100% dan mengindikasikan shared characters. Distance diperlakukan sebagai dissimilarity yang merupakan lawan dari similarity. Matriks distance merupakan metode untuk menghasilkan pohon kekerabatan / relationship trees. Metode ini didasarkan pada distance yang dihitung di antara semua pasangan sampel. Analisis Cluster, seperti unweighted pair-group with aritmatic average (UPGMA) dan Neighbor joining, dapat digunakan untuk mengelompokkan individu berdasarkan matriks distance.

Metode parsimony merupakan metode lain yang mengevaluasi seluruh kemungkinan pohon kekerabatan dan menggunakan seluruh informasi evolusi dalam membangun pohon kekerabatan. Uji robustness dari pohon kekerabatan dapat dilakukan dengan analisis bootstrap. Data molekular dengan menggunakan molecular marker seperti RAPD, ISSR, RFLP, dianalisis berdasarkan ada atau tidak adanya band DNA (1=ada, 0= tidak ada) seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh data molekuler berdasarkan ada tidaknya band pada analisis dengan menggunakan molekular marker (J. Felsenstein. 2004. Inferring Phylogenies. Sinauer Assoc., Sunderland, Mass.)

Data ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan program komputer seperti PAUP atau program lainnya, untuk menghasilkan matriks similarity atau dissimilarity yang selanjutnya digunakan untuk menghasilkan pohon kekerabatan/filogeni.

Terdapat dua pendekatan untuk menguji hubungan filogenetik yaitu fenetik dan kladistik. Fenetik juga dikenal dengan nama taksonomi numerik melibatkan penggunaan ukuran yang bervariasi dari kesamaan untuk perankingan spesies. Tiap organisme kemudian dibandingkan dengan organisme lainnya untuk seluruh karakter yang diukur dan dihitung jumlah similarity atau dissimilarity. Organisme kemudian dikelompokkan sehingga yang paling mirip berkelompok bersama sedang yang berbeda akan berhubungan dengan lebih jauh. Kelompok taksonomi (fenogram) hasil dari analisis ini tidak menunjukkan hubungan evolusi.

Kadistik merupakan cara lain menyatakan hubungan kekerabatan. Asumsi dalam kladistik bahwa anggota kelompok memiliki sejarah evolusi umum. Pengelompokan berdasarkan kladistik harus memiliki karakteristik bahwa semua spesies berbagi nenek moyang umum (common ancestor) dan semua spesies yang berasal dari common ancestor harus diikutkan dalam takson. Beberapa istilah untuk menjelaskan cara berbeda dalam pengelompokan :

l Monophyletic grouping : semua spesies berbagi common ancestor, dan semua spesies yang berasal dari common ancestor tersebut dilibatkan. Pengelompokan ini diterima sebagai pengelompokan yang valid dalam kladistik.

l Paraphyletic grouping : semua spesies berbagi common ancestor, tetapi tidak semua spesies yang berasal dari common ancestor tersebut dilibatkan.

l Polyphyletic grouping : spesies yang tidak berbagi common ancestor dikelompokkan bersama, dan mengeluarkan anggota lain yang mungkin berhubungan.

Metode analisis molecular phylogenetic memiliki asumsi sebagai berikut:

l Sekuens yang digunakan tepat dan berasal dari sumber yang spesifik.

l Sekuens adalah homolog-semua berasal dari shared ancestral sequence.

l Setiap posisi dalam sequence alignment homolog dengan yang lainnya dalam alignment tersebut.

l Tiap multiple sequences yang terlibat dalam sebuah analisis umum memiliki common phylogenetic history dengan sekuens lainnya.

l Sampling yang dilakukan cukup untuk memecahkan masalah yang dipelajari.

l Variasi sekuens di antara sampel mewakili kelompok yang lebih luas.

l Variasi sekuens dalam sampel mengandung sinyal phylogenetic yang cukup untuk memecahkan masalah yang dipelajari.

Seperti telah dikemukakan di atas, DNA profiling multilokus (RAPD, ISSR, AFLP) memiliki potensi menghasilkan karakter yang informatif bagi studi filogenetik baik pada level spesies dan kemungkinan pada level genus (Wolfe dan Liston, 1998). Saat menggunakan marker multilokus untuk analisis taksonomi, jumlah band yang dapat di-skor haruslah tinggi.

Pustaka:

Weising, K., Nybom, H., Wolff, K., Kahl, G. 2005. DNA fingerprinting in plants. Principles, methods and applications. CRC Press. Taylor and Francis Group, Boca Raton, FL.

Wolfe A.D., Liston A. 1998. Contributon of PCR-based methods to plant systematic and evolutionary biology. In Molecular Systematics of Plants II. DNA Sequencing, Soltis, D.E., Soltis, P.S., Doyle, J.J., Eds. Kluwer, Dordrecht, p. 43-86.


Identifikasi tanaman menggunakan teknik molekuler

Identifikasi tanaman dari populasi alam merupakan salah satu aplikasi praktis biologi molekuler. Teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi tanaman didisain untuk mendeteksi keberadaan sekuens DNA spesifik atau kombinasi sekuens yang unik mengidentifikasi tanaman. Identifikasi ini tidak selalu memerlukan DNA sequencing, tetapi dapat menggunakan hibridisasi DNA atau PCR (polymerase chain reaction). Teknik berdasarkan hibridisasi seperti restriction fragment length polymorphism lebih rumit dan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan PCR. Pilihan metode yang digunakan tergantung pada kesulitan dalam membedakan dan faktor-faktor seperti waktu, fasilitas, dana. Tidak ada metode yang paling baik untuk semua kasus. Sifat dari sample juga mempengaruhi teknik yang dapat digunakan.

Teknik RAPD (random amplified polymorphic DNA) merupakan teknik yang secara luas digunakan untuk mengkarakterisasi DNA tanaman atau organisme lain. Teknik ini menggunakan PCR dengan primer utas pendek. RAPD umumnya menggunakan gel agarosa untuk menganalisis produk PCR. Sebagai contoh, Gambar 1 menunjukkan analisis varietas-varietas sunflower dengan RAPD. Teknik ini dapat mengidentifikasi variasi di dalam kultivar. Teknik ini juga dapat membedakan varietas.

Gambar 1. RAPD 15 varietas sunflower. Terdapat polimorfisme yang tinggi antar sunflower varieties (Lawson et al., 1994)

Adanya teknik yang mampu mengidentifikasi pada tingkat intraspesies sangat bermanfaat bagi para pemulia tanaman. Pemulia tanaman harus dapat mengidentifikasi varietas komersial agar dapat menuntut jika terjadi eksploitasi varietas yang dikembangkan para pemulia tanaman. Di samping itu agar mendapatkan kembali modal/investasi yang telah digunakan. Untuk mendapatkan ‘plant breeder right’ harus dapat menunjukkan keunikan, keseragaman dan stabilitas varietas baru.

Molekular marker merupakan tambahan karakter dalam mengevaluasi perbedaan genetik. Keuntungan dari DNA marker adalah tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Beberapa persyaratan yang diperlukan oleh test molekular yang digunakan dalam perlindungan varietas tanaman adalah:

1. test tersebut dapat diulang baik antar lab maupun dalam lab

2. dapat dinilai secara objektif atau dapat di-scor dengan objektif

3. dapat menunjukkan diskriminasi yang jelas antar varietas

Di samping menggunakan RAPD, marker molekular lain juga dapat digunakan untuk identifikasi varietas. Misalnya marker SSR (simple sequence repeat). SSR (dinucleotide atau trinucleotide) umum terdapat pada genom tumbuhan. PCR dengan menggnakan primer yang menempel sebelum dan sesudah ‘repeat’ (flanking sequence) dapat menghasilkan polimorfisme karena perbedaan panjang ‘repeat’.

Kekurangan penggunaan SSR adalah kesulitan kloning dan sequencing daerah flanking SSR. Daerah flanking ini relatif spesifik untuk tiap spesies.

Sebagai contoh penggunaan analisis menggunakan SSR adalah analisis 96 genotipe kedelai. (Rongwen et al., 1995). Varietas kedelai semakin sulit dibedakan karena varietas kedele berasal dari tetua yang rentang genetiknya kecil dengan perbedaan genetik yang sangat kecil. Hanya dua varietas yang memiliki profil yang sama pada 11 sampai 26 alel yang ditemukan pada 7 lokus. Dua varietas yang tidak dapat dibedakan tersebut memiliki pedigree yang sangat mirip. Derajat kesamaan ke 96 varietas bervariasi dari 0.71 sampai 0.95 dengan rata-rata 0.87.

Marker ISSR (Inter simple sequence repeat) dilaporkan lebih sensitif dalam mendeteksi variasi dibandingkan marker RAPD. Marker ISSR ini mengamplifikasi ruas DNA diantara dua ‘repeat’. Contoh penggunaan marker ini adalah pada identifikasi kultivar Leucadendron (Proteaceae). Dengan menggunakan marker ini dapat diidentifikasi beberapa sinonim pada kultivar Leucadendron. Kultivar dengan nama yang berbeda memiliki pola-pola DNA ISSR yang sama (M. Pharmawati, G. Yan, P.M. Finnegan).


DNA Sequencing

Secara molekuler, pengertian dari sebuah molekul DNA berasal dari penentuan sekuen nukeotida. Fungsi dari sebuah gen sering dapat ditentukan berdasarkan sekuen nukeotida, misalnya dengan cara membandingkan sekuens nukeotida dengan gen yang telah diketahui fungsinya.

Sekuen nukleotoda DNA dapat ditentukan berdasarkan metode dari Alan Maxam dan Walter Gilbert atau disebut juga penentuan sekuens berdasarkan prosedur kimia. Metode ini memerlukan label radioaktif pada satu ujung dan pemurnian fragmen DNA yang akan disekuens. Perlakuan kimia menghasilkan pemutusan pada proporsi yang kecil satu atau dua dari empat basa nukeotida pada masing-masing reaksi (G, A+G, C, C+T). Sehingga sebuah seri dari fragmen yang dilabel dihasilkan dari ujung yang diradiolabel ke situs pemutusan pertama pada tiap molekul. Fragmen pada ke-empat reaksi diatur bersebelahan pada gel elektroforesis untuk pemisahan berdasarkan ukuran. Untuk memvisualisasi fragmen, gel diekspos kepada X-ray film untuk autoradiografi. Dan menghasilkan sebuah seri band yang gelap yang masing-masing mewakili fragmen DNA yang diradiolabel.

Teknik lain yang lebih disenangi dan banyak digunakan adalah teknik penentuan sekuens yang dikembangkan oleh Fred Sanger yang disebut juga metode dideoxynucleotide.
Metode dideoxynucleotide menggunakan molekul dideoxynucleotide yang tidak memiliki gugus hidroksil pada karbon no-3 dari gula, sedangkan deoxyribonucleotide normal memiliki group 3-hydroxyl pada unit gulanya. Selama replikasi DNA, deoxynucleoside triphosphate yang datang berikatan pada 5-phosphate dengan 3-hydroxyl dari nukleotida yang sudah ada. Tetapi jika yang beikatan adalah dideoxynucleotide, maka sintesis DNA akan berhenti.

Teknik dideoxynucleotide memerlukan primer sebagai pemula reaksi sintesis untai komplementer. Reaksi sintesis untai DNA dimulai dengan penambahan polimerase Klenow dan masing-masing dari ke-4 deoksinukleotid (dATP, dTTP, dGTP, dCTP). Di samping itu ditambahkan pula satu nukleotide yang dimodifikasi yaitu dideoxinukleotid (misalnya dideoksi ATP). Nukeotid ini menyebabkan penghentian sintesis untai selanjutnya. Jika dideoksi ATP ditambahkan, penghentian akan terjadi pada posisi yang berlawanan dengan timidin pada DNA cetakan. Tetapi penghentian tidak selalu terjadi pada timidin pertama, karena dATP yang normal juga terdapat dan mungkin digabungkan lebih dulu daripada dideoxinukeotida. Rasio dATP terhadap dideoxinukeotida adalah sedemikian sehingga tiap-tiap untai mengalamisasi polimerisasi sampai cukup panjang sebelum dideoxy-ATP ditambahkan. Sehingga diperoleh kumpulan untai baru yang semua memiliki panjang yang berbeda tetapi masing-masing berakhir pada dideoxi-ATP.

Reaksi sintesis untai DNA dilakukan empat kali secara paralel. Terdapat juga reaksi dengan dideoxy-TTP, dideoxy-GTP dan dideoxy-CTP. Langkah selanjutnya adalah memisahkan komponen tiap-tiap kelompok yang dapat dilakukan dengan gel elektroforesis. Kondisinya harus diatur dengan baik agar dapat terjadi pemisahan dengan panjang yang berbeda hanya satu nukeotida. Elektroforesis dilakukan dengan gel poliakrilamid yang sangat tipis dan panjang. Tiap pita dalam gel akan mengandung DNA dalam jumlah kecil sehingga diperlukan autoradiografi dengan memasukkan deoksinukeotide radioaktif.

Dalam perkembangan selanjutnya, radioaktif digantingan dengan label fluorescent.label fluorescent berikatan dengan dideoxynucleotide, sehingga tiap molekul chain-terminated membawa label tunggal pada ujung 3’. Fluorochrome yang berbeda dapat digunakan untuk tiap di-deoxyNTP. Deteksi signal fluorescent dapat dilakukan dengan sistem imaging yang khusus yang menggunakan komputer untuk membaca sekuens DNA. Produk reaksi dimasukkan dalam gel poliakrilamide atau dalam tabung tunggal pada capillary electrophoresis dan di-run melalui detektor fluorescent.
Dalam sequencing dengan chain termination ini, gen yang di-sequencing dapat diklon terlebih dahulu dalam vektor M13. Primer akan berikatan dengan nukleotida pada M13. Sequencing juga dapat dilakukan tanpa kloning, tetapi langsung dari produk PCR yang dihasilkan.

Pustaka
Anonim. DNA Sequencing. http://en.wikipedia.org/wiki/DNA_sequencing
Brown, TA. 2001. Gene cloning and DNA analysis: an introduction. Blackwell science Ltd,
Victoria, Australia
Glick, B.R., Pasternak, J.J. 1994. Molecular Biotechnology: principles and applications of recombinant DNA. ASM Press,
Washington, DC.

Marker Molekuler

Molekular marker merupakan potongan dari material genetik yang mudah diidentifikasi yang dapat digunakan di laboratorium untuk memisahkan sel, individu, populasi atau spesies. Pengembangan molekular marker dimulai dari ekstraksi DNA dari jaringan tanaman (misalnya daun, biji, polen atau kadang-kadang jaringan kayu). Molekular marker yang ideal adalah antara lain memiliki polimorfisme yang tinggi, bersifat kodominan, banyak/sering terdapat dalam genom, aksesnya mudah, memiliki konsistensi tinggi.

Bermacam-macam teknik telah dikembangkan untuk memvisualisasi polimorfisme pada DNA. Umumnya molekular marker diklasifikasikan dalam dua kelompok: Hybridization-based marker dan PCR (polymerase chain reaction)-based marker. Pada Hybridization-based marker profil DNA divisualisasi dengan melakukan hibridisasi antara DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi dengan probe yang telah dilabel. Probe merupakan fragmen DNA yang diketahui asal atau sekuennya. PCR (polymerase chain reaction)-based marker melibatkan amplifikasi in vitro dari sekuen DNA tertentu atau lokus-lokus tertentu dengan bantuan primer dan enzim DNA polimerase yang termostabil. Fragmen yang diamplifikasi dipisahkan dengan elektroforesis dan dideteksi dengan pewarnaan.

Hybridization-based marker – RFLP

RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) berasal dari susunan DNA yang terjadi karena proses evolusi, mutasi titik pada situs enzim restriksi, insersi atau delesi dalam fragmen DNA. Dalam analisis RFLP, genomik DNA yang dipotong dengan enzim restriksi dipisahkan melalui gel elektroforesis, dan diblot ke membrane netroselulase. Dasar dari transfer DNA dari gel ke pensupport yang lebih solid adalah untuk mengawetkan posisi fragmen DNA dan menyebabkan hibridisasi dapat dilakukan. Pola banding yang spesifik divisualisasi dengan hibridisasi dengan probe yang dilabel. Probe biasanya probe lokus tunggal yang spesies-specific berukuran 0.5 – 3kb yang diperoleh dari cDNA library atau genomik library.

RFLP merupakan marker co-dominant. RFLP merupakan marker yang sangat dapat dpercaya dalam analisis linkage dan breeding dan dapat ditentukan dengan mudah jika karakter terdapat dalam bentuk homozigot atau heterozigot. Kekuatan dari marker RFLP adalah konsistensi yang tinggi, sifat pewarisan co-dominant, dapat diulang antar laboratorium, memberikan marker yang locus-specific, tidak memerlukan informasi sekuen, dan relative mudah discor karena perbedaan yang besar antar fragmen. Tetapi penggunaan RFLP memerlukan DNA dalam jumlah yang besar untuk pemotongan dengan enzim restriksi. Di samping itu penggunaan isotop radioaktif relatif mahal dan berbahaya. Waktu yang diperlukan juga cukup lama.

PCR (polymerase chain reaction)-based marker

PCR adalah sebuah teknik biologi molekuler untuk mereplikasikan DNA dengan menggunakan enzim Taq polimerase. PCR digunakan untuk mengamplifikasi bagian DNA yang pendek (sampai 10 kb). Sejak ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1983, teknik ini telah melahirkan teknik PCR-based marker teknik lainnya yang sangat bervariasi. Protokol dasar PCR adalah:

1. DNA utas ganda didenaturasi pada suhu 95C sehingga membentuj DNA utas tunggal yang berfungsi sebagai cetakan.

2. DNA utas tunggal yang pendek (disebut primer) berikatan dengan DNA cetakan pada temperature rendah. Ikatan preimer terjadi pada utas yang komplementer dengan cetakan pada daerah ujung batas sekuen DNA target.

3. Suhu ditingkatkan menjadi 72C sehingga enzim DNA polymerase dapat melakukan sintesis DNA membentuk utas ganda DNA baru.

4. Utas ganda DNA yang baru disintesis, didenaturasi pada suhu tinggi dan siklus berulang.

Produk PCR diamati dengan gel elektroforesis dengan menggunakan gel agarose ataupun gel poliakrilamida dan diamati dengan uv-transiluminator.

RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

Salah satu teknik molecular marker yang menggunakan PCR adalah RAPD. Metode standar RAPD menggunakan oligonukleotida tunggal pendek (10-12 basa) dengan urutan acak sebagai primer untuk mengamplifikasi genomik DNA dalam jumlah nanogram dengan temperatur annealing yang rendah. Produk amplifikasi PCR dipisahkan dengan agarose gel diwarnai dengan ethidium bromide. Primer decamer secara komersial tersedia di berbagai sumber (misalnya Operon Technologies Inc., Alameda, California atau University of British Columbia, Canada). Analisis RAPD berbeda dengan kondisi PCR standar dimana hanya menggunakan satu primer dan tidak memerlukan informasi sekuen DNA awal.

Pada temperature annealing yang tepat selama siklus thermal, oligonukleotida primers dengan urutan sekuen acak berikatan pada beberapa priming site pada sekuen komplementer pada template DNA genomik dan menghasilkan produk jika priming site berada dalam wilayah/jarak yang dapat diamplifikasi. Profil amplifikasi DNA tergantung pada homologi sekuen nukleotida antara template/cetakan DNA dengan oligonucleotide primer. Variasi nukleotida antar template DNA menghasilkan ada tidaknya band karena perubahan priming site.

Aplikasi analisis RAPD

Karena teknik RAPD yang sederhana dan biaya yang diperlukan lebih murah maka terdapat aplikasi yang sangat luas dari RAPD pada berbagai area biologi. Beberapa area tersebut antara lain:

Kemampuan RAPD mendeteksi variasi intra-specifik dapat digunakan untuk melakukan screening untuk tingkat inbreeding pada tanaman komersial untuk mencegah peningkatan frekuensi alel resesif yang merugikan dalam populasi.

Marker species-specific digunakan dalam inter-specific gene flow dan identifikasi hybrid. Sama halnya dengan marker population-specific akan bermanfaat dalam identifikasi populasi hibrid. Marker RAPD lebih cocok untuk organisme klonal dibandingkan organisme yang bereproduksi secara seksual. Karena bereproduksi secara aseksual, maka fragmen polimorfik antar individual dapat digunakan untuk menentukan identitas klonal.

Walaupun metode RAPD relatif cepat, murah dan gampang dilaksanakan dibandingkan metode marker DNA lain, isu konsistensi/reproducibility menjadi perhatian sejak dipublikasikannya teknik ini. RAPD sangat sensitif terhadap perubahan kondisi reaksi PCR. Problem reproducibility/konsistensi biasanya terjadi pada band dengan intensitas yang rendah. Hal ini mungkin terjadi karena primer tidak cocok secara sempurna pada sekuen priming site, amplifikasi pada beberapa siklus mungkin tidak terjadi sehingga band tetap samar.

ISSR (Inter Simple Sequence Repeat)

ISSR melibatkan amplifikasi segmen DNA yang berada pada jarak yang dapat teramplifikasi antara dua daerah mikrosatelit berulang yang identik tetapi dengan orientasi arah yang berbeda. Teknik ini menggunakan primer mikrosatelit tunggal dalam reaksi PCR dengan target multiple-locus genomik untuk mengamplifikasi inter simple sequence repeats dengan ukuran yang berbeda. Mikrosatelit yang digunakan sebagai primer bisa berupa di-nucleotide, tri-nucleotide, tetranucleotide atau penta-nucleotide. Primer yang digunakan bisa unanchored atau umumnya anchored pada ujung 3` atau 5` dengan 1 sampai 4 basa degenerate yang berada pada daerah batas ujung mikrosatelit. Panjang primer ISSR yang digunakan adalah 15–30 mers duibandingkan dengan RAPD yang menggunakan primer 10 mers. Suhu annealing tergantung pada kandungan GC dari primer yang digunakan, biasanya berkisar 45 sampai 65C. Produk hasil amplifikasi biasanya berukuran 200–2000 bp dan dapat dideteksi dengan menggunakan gel agarosa atau poliakrilamid elektroforesis.

Mikrosatelit

Mikrosatelit, juga dikenal dengan simple sequence repeats (SSRs) adalah kelas terkecil dari sekuen berulang. Sekuen yang berulang sering sederhana, terdiri dari dua, tiga atau empat nukleotida (di-, tri-, dan tetranukleotida berulang). Salah satu contoh umum mikrosatelit adalah dinucleotida berulang (CA)n, dimana n menunjukkan jumlah total nukeotida berulang/repeats yang berada pada kisaran 10 dan 100. Marker ini sering menunjukkan polimorfisme inter dan intra spesifik dengan level tinggi.

Reaksi PCR untuk SSRs dilakukan dengan primer forward dan reverse yang berikatan/anneal pada ujung 5` dan 3` dari DNA cetakan. Fragmen produk PCR biasanya dipisahkan pada gel poliakrilamid dengan pewarnaan AgNO3, dengan autoradiografi atau dengan sistem deteksi menggunakan fluoresens. Gel agarose gels (biasanya 3%) dengan pewarnaan EtBr dapat digunakan saat perbedaan dalam ukuran alel antar sampel lebih besar dari 10bp.

Pengembangan mikrosatelit melibatkan beberapa tahapan dimulai dari pembentukan library untuk pengembangan set primer yang dapat mengamplifikasi lokus mikrosatelit yang polimorfik. Ini melibatkan:

1. Konstruksi library mikrosatelit.

2. Identifikasi lokus mikrosatelit yang unik.

3. Identifikasi area yang sesuai untuk disain primer.

4. Mendapatkan produk PCR.

5. Evaluasi dan interpretasi pola banding.

6. Penilaian produk PCR yang polimorfik.

SSRs sekarang merupakan marker yang dipilih pada banyak area genetika molekuler karena mikrosatelih sangat polimorfik bahkan untuk spesies atau galur yang berkerabat dekat, memerlukan DNA dalam jumlah kecil, dapat diautomasi.

Kloroplas DNA (cpDNA) dan mitokondrial DNA (mtDNA)

DNA terdapat di nukleus dan dalam organel (ekstrakromosomal DNA). Pada tanaman, DNA juga terdapat pada mitokondria dan kloroplas. Sekuens kloroplas DNA komplit telah terdapat untuk tanaman Nicotiana tabacum, Marchantia polymorpha, Oryza sativa dan Epifagus virginiana dan lain-lain. Informasi ini tersedia untuk digunakan dalam studi perbandingan struktur dan kandungan gen pada genom kloroplas. Karakteristik kloroplas yang memiliki kecepatan sunstitusi nukleotida yang konservatif menyebabkan penggunaan kloroplas DNA untuk menentukan filogeni tanaman dan evolusi tanaman. Kloroplas DNA diwariskan secara maternal pada sebagian besar angiospermae, sedang pada conifer pewarisannya adalah paternal. Terdapat perkecualan, seperti pada tanaman kiwi, kloroplas DNA diwariskan secara paternal.

DNA mitokondria juga diwariskan secara uniparental yaitu secara maternal. Tersedianya primer universal untuk amplifikasi sekuen cpDNA dan mtDNA menyebabkan kemudahan dalam analisa filogeni tanaman dengan menggunakan cpDNA dan mtDNA. Teknik yang bervariasi digunakan untuk mengamati variasi pada kloroplas DNA dan mitokondrial DNA. Teknik yang paling sering digunakan adalah RFLP dan PCR-RFLP. Pada PCR-RFLP, sekuen kloroplas atau mitokondria diamplifikasi dengan PCR. Variasi dilihat dari ukuran sekuens. Jika tidak terdapat perbedaan ukuran hasil PCR (tidak terdapat length polymorphism), maka produk PCR selanjutnya dipotong dengan enzim restriksi. Sequencing daerah cpDNA atau mtDNA juga merupakan salah satu teknik untuk melihat perbedaan basa nukleotida antar sekuens.

DNA nukleus

Sebagian DNA organisme berlokasi di nukleus. Nuklear yang mengkode ribosomal DNA (rDNA) adalah nuklear DNA yang paling sering digunakan pada studi filogenetik. Pada sel tanaman tingkat tinggi, setiap genom nuklear haploid mengandung 1,000 sampai 10,000 copy rDNA yang tersusun secara tandem pada satu atau beberapa lokasi kromosom. Setiap unit dalam satu rangkaian mengkode gen dengan urutan 5’- 18S, 5.8S, 26S -3’ subunit rRNA. Di antara daerah 18S dan 5.8S terdapat beberapa ratus pasang basa DNA yang disebut internal transcribe spacer 1 (ITS1), dan antara daerah 5.8S dan 25S region adalah ITS2. Daerah yang memisahkan unit transkripsi dari adjacent rDNA berulang adalah intergenic spacer (IGS).

Daerah ITS lebih variable dibandingkan daerah coding, sehingga bermanfaat untuk membandingkan hubungan antar spesies dan genus yang berkerabat dekat.
Beberapa gen nuclear lainnya dapat digunakan untuk studi filogenetik. Terdapat 16 low copy nuclear genes yang telah digunakan pada studi filogenetik alcohol dehydrogenase (Adh), calmodulin (
Cam), floricaula/leafy (FLO/LFY), glycerol-3-phosphate acyltransferase (GPAT), granule-bound starch synthase (GBSSI or Waxy), phosphoglucose isomerase (PgiC).

Pustaka

Bardakci, F. 2001. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Markers. Turk J Biol 25:185-196
Semagn, K., Bjørnstad, A., Ndjiondjop, M.N. 2006. An overview of molecular marker methods for plants. African Journal of Biotechnology 5: 2540-2568


FERMENTASI URINE SAPI SEBAGAI PUPUK CAIR UNTUK

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk memenfaatkan urine sapi sebagai pupuk cair untuk meningkatkan produksi pertanian. Penelitan ini dilaksanakan selama bulan Desember 2007, bertempat di Laboratorium Biologi SMA Pancasila 1 Wonogiri. Komposisi bahan yang digunakan adalah: urine sapi, lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, butrowali, tetes tebu. Dari hasil penelitian yang dipoeroleh kesimpulan bahwa urine sapi bisa dibuat pupuk cair dengan menambahkan bahan - bahan tambahan seperti lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, butrowali. Bahan - bahan tadi berfungsi untuk menghilangkan bau urine sapi. Sedangkan untuk tetes tebu berfungsi untuk fermentasi dan memenyuburkan mikroorhanisme yang ada didalam tanah, tetes tebu ini sendiri mengandung bakteri Sacharomyces Sereviceae yang berfungsi untuk fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh bahwa urine sapi bisa dibuat pupuk cair yang sangat menyuburkan tanaman pertanian.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sapi (Bison benasus L) merupakan ternak ruminansia besar yang mempunyai banyak manfaat baik untuk manusia ataupun tumbuhan, seperti daging, susu, kulit, tenaga dan kotoran. Selain itu urinenya juga bisa dimanfaatkan. Urine sapi (Bison benasus L) bisa di buat pupuk cair sebagai pestisida untuk tanaman. Penulis telah membuat pupuk cair dan hasilnya cukup baik

Pembuatan pupuk cair dari urine sapi (Bison benasus L) ini sangatlah mudah dan tidak membutuhkan waktu lama serta baik untuk tanaman dibandingkan dengan pupuk buatan pabrik. Bahan yang digunakan untuk membuat pupuk cair ini juga mudah di dapat dan biayanya relatif murah. Dengan adanya pembuatan pupuk cair ini masyarakat diharapkan mau mencoba membuat dan memakinya.

Produk yang dibuat ini mempunyai keunggulan tersendiri yaitu harganya murah, pembuatannya mudah, bahan mudah didapat, dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Pupuk cair ini mengandung protein yang menyuburkan tanaman dan tanah seperti padi, palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, bunga dan lain-lain. Produk ini berfungsi sebagai pengusir hama tikus, wereng, walang sangit, dan penggerek serta sebagai sumber pupuk organik.

Pembuatan pupuk cair dari urine sapi (Bison benasus L) ini membutuhkan bahan tambahan lainnya agar urine berkomposisis kimia yag baik. Bahan tambahan ini seperti lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali, dan tetes tebu. Untuk lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali maksud penambahan bahan-bahan ini untuk menghilangkan bau urine ternak dan memberikan rasa yang tidak disukai hama. Untuk tetes tebunya untuk fermentasi urine sapi (Bison benasus L) dan menyuburkan mikroba yang ada di dalam tanah, karena tetes ini mengandung bakteri Sacharomyces cereviceae. Berdasarkan uraian tersebut penulis mengambil penelitian yang berjudul "FERMENTASI URINE SAPI (Bison benasus L) SEBAGAI PUPUK CAIR UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI PERTANIAN".

B. Pembatasan masalah

1. Urine sapi yang digunakan sapi (Bison benasus L) jantan jawa dirumah Bapak Ridhiyanto desa Ngemplak, Kecamatan Ngadirojo

2. Lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, butrowali dibeli dipasar Ngadirojo

3. Tetes tebu dan starter atau bibit bakteri Sacharomycec sereviceae dibeli di Bapak Panut sentra produksi Alkohol Bekonang

C. Permasalahan

Apakah urine sapi (Bison benasus L) bisa dijadikan pupuk cair untuk meningkatkan produksi pertanian?

D. Tujuan Penelitian

Untuk memanfaatkan urine sapi (Bison benasus L) untuk dibuat pupuk cair untuk meningkatkan produksi pertanian

E. Manfaat Penelitian

1. Memanfaatkan limbah petarnakan khususnya urine sapi untuk pupuk cair

2. Meningkatkan intensifikasi pertanian

3. Meningkatkan masyarakat untuk berwirausaha sendiri

4. Untuk perkembangan teknologi pertanian

BAB II

LANDASAN TEORI

Siapa bilang air kencing sapi merusak lingkungan. Buktinya, sapi di Sumatra Barat (Sumbar), tepatnya di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Air kencing dari satu ekor sapi mamp menyuburkan sekitar empat hektare sawah yang setiap hektarenya bisa menghasilkan enam hingga delapan ton padi atau gabah.Air kencing, ya tetap air kecing, yang keluar dari alat vital sapi,. Kandungan kimia urine sapi adalah N : 1,4 sampai 2,2 %, P: 0,6 sampai 0,7%, dan K 1,6 sampai 2,1. Namun sebelum keluar dari tubuh sapi itu, makanan sapi harus direkayasa dulu. Awalnya, hasil penemuan yang disebut sistem pupuk organik urine sapi (kosarin), semata-mata memang bukan untuk menyuburkan tanaman atau tumbuhan. Melainkan untuk menyuburkan sapi. Cara menggemukkan sapi ini dengan memberikan makanan jeram dicampur garam dan enzym Bossdext (Setiono Hadi, 2004).

Peningkatan produksi jahe di Indonesia sangat diperlukan, yang dapat dilakukan melalui perbaikan tehnik budidaya terutama pada fase awal pertumbuhan tanaman. Penggunaan pupuk kandang dan urin sapi sebagai zat pengatur tumbuh diharapkan mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman jahe sehingga produksinya meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa jenis pupuk kandang, pengaruh konsentrasi urin sapi dan interaksi antara penggunaan beberapa macam pupuk kandang dan konsentrasi urin sapi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jahe muda ( Hary Witriyono, 1993).

Budidaya tanaman kencur di pedesaan umumnya masih bersifat sampingan. Maka tidak heran bila kuantitas dan kualitasnya beraneka ragam. Buku ini menyajikan cara penanaman kencur agar dapat memperoleh hasil yang maksimal ( Rahmat Rukmana, 1994).

Brotowali adalah tanaman asli Asia Tenggara. Di balik rasanya yang pahit,ternyatabrotowali mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit, ringan dan berat, seperti diabetes mellitus, hepatitis, rematik, dan gatal-gatal. Harapannya, dengan buku ini pembaca bisa mengaplikasikan atau meramu sendiri resep-resep obat dari brotowali. Sebagai pelangkap, buku ini disertai juga dengan pengalaman para penggunanya ( Budy Kresnady, 2003).

Kunyit sudah lama dikenal sebagai tanaman untuk bumbu dapur. Selain itu, kunyit juga sudah turun temurun digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Akhir-akhir ini, kunyit juga sudah diolah secara modern dalam skla industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, dan pewarna tekstil. Ramuan obat berbahan kunyit dijelaskan dalam buku ini dengan tujuan agar pembaca dapat mengolah sendiri resep-resep tersebut ( Winarto, 2004).

Masyarakat semakin menyukai cara pengobatan atau pencegahan gangguan kesehatan dengan bahan-bahan alami. Jahe, Kunyit, Kencur, dan Temulawak merupakan bahan alami yang berkhasiat bagi kesehatan. Salah satu bentuk penyajiannya adalah dengan dibuat menjadi minuman yang cepat saji dan praktis, dengan kata lain dikemas dalam bentuk bubuk instan. Buku ini memberikan informasi lengkap, mulai dari pengenalan komoditasnya, peralatan, proses pembuatan, pengemasan, pemasaran, hingga analisis usaha instan jahe, kunyit, kencur, dan temulawak ( Prastyo, 2003).

Temu-temuan dan empon-empon banyak dimanfaatkan untuk bumbu masak, bahan minuman, bahan kosmetika, dan bahan obat/jamu tradisional. Komoditas temu-temuan dan empon-empon saat ini tidak hanya dikenal di dalam negeri melainkan juga di luar negeri. Dengan demikian, komoditas ini memiliki prospek pasar yang sangat luas sehingga patut diperhitungkan oleh para petani ataupun pemerintah karena dapat mendatangkan pendapatan tambahan bagi petani dan devisa bagi negara. Buku ini menyajikan aneka temu-temuan dan empon-empon, baik yang sudah dikenal oleh masyarakat maupun yang belum, mulai dari pengenalan masing-masing komoditas, budidaya, manfaat, dan khasiatnya (Fauzilah Muhlisin, 1999).

Lengkuas merupakan sejenis rizom dengan kegunaan masakan dan perubatan, dan banyak digunakan di Asia Tenggara. Rupanya hampir sama dengan halia.

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Order : Zingiberales

Famili : Zingiberacea sp

( Wikipeda.Org, 2007)

Infeksi cacing tidak selalu menimpa anak-anak. Siapa pun bisa terinfeksi bila pola hidupnya kurang higienis. Untuk mengusir cacing dari saluran pencernaan kita itu bisa digunakan bahan-bahan alami di sekitar kita. Di antaranya temu ireng (hitam) atau temu giring ( Aliadi, 1996).

Tetes atau ampas tebu adalah cairan kental sisa kristalisasi dari pabrik gula. Badek adalah bibit fermentasi ciu yang diambil dari sisa penyulingan ciu sebelumnya. Setelah diaduk, pada permukaan campuran bahan dasar ciu akan keluar buih. Campuran bahan dibiarkan sampai tujuh hari sampai buih menghilang, baru siap dimasak, Bagi pembuat ciu, kalau badek habis atau tak sanggup menghasilkan buih pada campuran bahan ciu, berarti produksi mandek. Hasil sulingan tetes tebu biasanya mengandung alkohol 30-45 persen. Produsen ciu di Bekonang umumnya juga memproduksi alkohol 90 persen. “Alkohol itu campuran tetes tebu yang disuling dua kali. Setelah jadi ciu, dimasak lagi, ditambah zat kimia kostik. Jadinya alkohol 90 persen,.Dari 200 liter campuran bahan akan menghasilkan 30 liter ciu setelah melewati tiga jam penyulingan. Kalau tetesnya bagus uapnya keluar cepat. Kalau jelek bisa empat jam baru selesai, Ciu paling jelek kandungan alkoholnya berkisar 25 persen. Hasil sulingan ciu berwarna agak keruh ( Taman Kembang Pete, 2006)

Wibowo (1989) menyatakan bahwa fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dari asam amino secara anaerobik yaitu tanpa memerlukan oksigen. Karbohidrat terlebih dahulu akan dipecah menjadi unit - unit glukosa dengan bantuan enzim a amilase dan enzim glukosidose, dengan adanya kedua enzim tersebut maka pati akan segera terdegradasi menjadi glukosa, kemudian glukosa tersebut oleh khamir akan diubah menjadi alkhohol.

Buckel (1987) menyatakan bahwa fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan pangan yang disebabkan oleh enzim. Enzim yang berperan dapat dihasilkan oleh mikroorganisme dan interaksi yang terjadi diantara produk dari kegiatan – kegiatan tersebut dan zat – zat yang merupakan pembentuk bahan pangan tersebut.

BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

1. Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi SMA Pancasila 1 Wonogiri

2. Waktu

Penelitian ini dilaksanakan 2 minggu selama bulan Desember

B. Alat dan Bahan

1. Alat yang digunakan

No

Nama alat

Jumlah

1

Ember

1 buah

2

Pengaduk

1 buah

3

Saringan

1 buah

4

Botol Bekas

5 buah

5

Bakcer Glass

1 buah

6

Drum Plastik

1 buah

2. Bahan yang digunakan

No

Nama Bahan

Jumlah

Satuan

1

Urine Sapi (Bison benasus L)

10

Liter

2

Lengkuas

2

Ons

3

Kunyit

2

Ons

4

Temu ireng

2

Ons

5

Jahe

2

Ons

6

Kencur

2

Ons

7

Brotowali

2

Ons

8

Tetes tebu/bibit bakteri

0.5

Liter

C. Pelaksanaan Penelitian

1. Urine sapi (Bison benasus L) di tampung dan dimasukkna ke dalam drum plastik

2. Lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali, ditumbuk sampai halus kemudian dimasukkan ke dalam drum plastik, maksud penambahan bahan-bahan ini untuk menghilangkan bau urine ternak dan memberikan rasa yang tidak disukai hama.

3. Setelah itu tetes tebu dimasukkan kedalam drum plastik, lalu dimasukkan starter Sacharomyces cereviceae. Tetes tebu dan starter Sacharomyces cereviceae ini berguna untuk fermentasi dan nantinya setelah jadi pupuk cair bisa menambah jumlah mikroba menguntungkan yang ada didalam tanaah.

4. Fermentasi urine didiamkan selama 14 hari dan diaduk setiap setiap hari.

5. Drum plastik ditutup dengan kain serbet atau kertas.

6. Setelah 14 hari pupuk cair sudah jadi kemudian disaring dan dikemas.

D. Hasil yang dicapai

Setelah pembuatan pupuk cair selesai hasilnya bagus. Urine sapi (Bison benasus L) sebelum difermentasi warnanya coklat kekuning-kuningan, baunya masih berbau urine, tetapi setelah difermentasi warnanya berubah menjadi coklat kehitam-hitaman, dan sudah tidak berbau urine. Penulis sudah mencobakan pada tanaman sayur dan bunga ternyata bagus. Tanaman sayuran dan bunga yang telah diberi pupuk cair ini menjadi lebih subur, daunnuya kelihatan segar dan hijau serta ulat yang menghinggapinya hilang. Pupuk cair ini juga dapat meningkatkan keuntungan pertanian serta memberikan keuntungan bagi kita.

E. Perhitungan Biaya Wirausaha

1.Pengeluaran

NO

Uraian

Jumlah

Harga

Per satuan

Total

A

Bahan

1

Urine sapi (Bison benasus L)

10 Liter

Rp. 1000

Rp. 10.000

2

Lengkuas

2 Ons

Rp. 750

Rp. 1.500

3

Kunyit

2 Ons

Rp. 750

Rp. 1.500

4

Temu ireng

2 Ons

Rp. 750

Rp. 1.500

5

Jahe

2 Ons

Rp. 750

Rp. 1.500

6

Kencur

2 Ons

Rp. 750

Rp. 1.500

7

Butrowali

2 Ons

Rp. 500

Rp. 1.000

8

Tetes/starter Sacharomyces cereviceae

0,5 Liter

Rp. 2.000

Rp . 1.000

Total Bahan

Rp. 19.500

B

Alat

1

Drum Plastik

1 buah

Rp. 10.000

Rp. 10.000

2

Saringan

1 buah

Rp. 2.000

Rp. 2.000

3

Botol bekas

5 buah

Rp. 100

Rp. 500

4

Ember

1 buah

Rp. 3.000

Rp. 3.000

Total Alat

Rp. 15.500

Pengeluaran Total

1. Bahan : Rp. 19.500

2. Alat : Rp. 15.500

3. Tenaga kerja : Rp. 15.000

4. Biaya Pemasaran : Rp. 10.000 +

Total : Rp. 50.000

Pemasukan

1. Jual pupuk cair 10 liter X Rp. 10.000 = 100.000

Keuntungan = Pemasukan - Pengeluaran

= Rp. 100.000 – 50.000 = Rp. 50.000

F. Sasaran Pemasaran

Dalam pembuatan pupuk cair yang bahan dasarnya urine sapi (Bison benasus L) ini yang menjadi sasaran adalah masyarakat khususnya petani dan pengusaha peternakan, karena pupuk cair ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Di dalam menyusun lapora ini penulis memperoleh kesimpulan:

1. Limbah cair peternakan khususnya urine sapi (Bison benasus L) dapat digunakan sebagai pupuk cair dengan menambahkan bahan tambahan didalamnya seperti lengkuas, kunyit, temuireng, jahe, kencur, brotowali, tetes tebu dan starter Sacharomyces cereviceae.

2. Dengan pupuk cair dari urine sapi (Bison benasus L) ini mesyarakat dapat memanfaatkan limbah urine sapi (Bison benasus L) dari peternakan sapi (Bison benasus L).

3. Dengan pupuk cair dari urine sapi (Bison benasus L) ini masyarakat dapat meningkatkan penghasilan dan dapat berwirausaha

B. Saran

1. Harus ditingkatkan pengetahuan bioteknologi kita biar dapat menghasilkan produk baru yang bermanfaat bagi manusia.

2. Harus ada pembinaan Karya Ilmiah Remaja di SMA Pancasila 1 Wonogiri secara berkelanjutan, untuk meningkatkan Ilmu pengetahuan.

3. Fasilitas LAB IPA khususnya Biologi perlu dilengkapi, sehinggha dalam praktek bisa berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Aliadi. 1996. Tanaman Obat Peliharaan. Sidowayah. Jakarta

Buckle, 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia press

Hadi, Setiono. 2004. Urine Sapi Bangkitkan Harapan Petani, Bogor.

Kresnady, Budy. 2003. Si Pait Yang Menyembuhkan. Agromedia Pustaka. Jakarta

Muhlisah, Fauziah. 1999. Temu-temuan dan Empon- Empon Budi Daya dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.

Prastyo. 2003. Teknologi Tepat Guna Instan. Kanisius. Yogyakarta

Rukmana Rahmat. 1994. Kencur. Kanisius. Yogyakarta

Wibowo. 1989. Biokimia Pangan dan Gizi. Yogyakarta: UGM Press.

Winarto, Ir. 2004. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Agromedia Pustaka. Jakarta

Witriyono Harry, 1993. Peningkatan Produksi Jae. Yogyakarta

. 2007. Lengkuas. Wikipeda, Org.

. 2006. Bangsa Penenggak Arak. Taman Kembang Pete. Jakarta.

LAMPIRAN

1. Sapi (Bison benasus L) yang akan diambil urinenya

2. Urine Sapi (Bison benasus L)

3. Tetes Tebu dan Starter Sacharomyces cereviceae

4. Penambahan lengkuas, kunyit, temu ireng, jahe, kencur, brotowali

5. Fermentasi Dan Penyaringan

6. Pengemasan