Rabu, 29 Juli 2009

Fisika Teori + Bioscience = Biofisika Teori : embrio peradaban baru masa depan ?

L.T. Handoko (Pusat Penelitian Fisika LIPI)

Fisika teori ? Bioscience ? Tentu siapapun, minimal pembaca setia media massa, sudah terbiasa mendengarnya. Tak pelak lagi, fisika teori yang merupakan kajian ilmu eksakta tertua telah jamak dikenal sebagai dasar dari semua peradaban manusia modern dewasa ini. Tak heran artikel populer fisika bertebaran di seantero dunia dengan topik beragam untuk berbagai tingkatan pembaca dan usia. Di Indonesia saja, setidaknya tercatat lebih kurang 500 artikel populer telah diterbitkan di berbagai media massa sejak tahun 2000 seperti tercatat di portal fisik@net (http://www.fisika.net). Ini masih ditambah dengan aneka buku populer untuk anak-anak serta aneka kegiatan lapangan, kompetisi fisika yang dimotori oleh kelompok Yohanes Surya dkk. Bahkan pada tahun-tahun terakhir ini seolah menjadi gelombang baru yang berpotensi mengubah cara pandang masyarakat awam terhadap fisika.

Dilain sisi, bioscience yang meliputi seluruh aspek kajian ilmu hayati (biologi, pertanian, kedokteran, dll) memiliki sejarah yang lebih panjang lagi, bahkan mungkin sejak awal keberadaan manusia. Manusia seolah ditakdirkan untuk selalu berupaya memahami diri dan mahkluk hidup di sekitarnya sebagai bagian dari tuntutan hidup untuk bertahan menghadapi keganasan alam. Namun, dibandingkan dengan tingkat kecepatan perkembangan teknologi yang dimulai dari fisika teori sejak era Newton, perkembangan pemahaman manusia akan dinamika dan mekanisme organisme sangat lambat. Bahkan sampai detik ini, pemahaman akan mekanisme organisme didasarkan pada kebiasaan, statistik maupun observasi langsung yang tentu saja bersifat subyektif. Ini bisa dilihat pada misalnya ilmu pengobatan, sehingga tidaklah mengherankan bila proses pengembangan suatu obat baru memerlukan waktu sangat lama dan percobaan dengan frekwensi dan sample dalam jumlah besar. Tidakkah ada cara lebih baik untuk mengatasi hal-hal semacam ini yang berujung pada produk akhir (misalnya obat) yang berharga mahal ?

Untuk itulah bioscience memasuki era baru di abad ini, yaitu dengan berusaha memahami mekanisme organisme hidup pada level yang lebih elementer seperti DNA dan gen. Hal ini bukan suatu hal mudah, tetapi penuh tantangan dan menjadi trend-setter dunia sains. Bahkan dewasa ini, melalui rekayasa biologi dan bioteknologi banyak dilakukan ujicoba pemakaian DNA untuk substitusi alat elektronik seperti transistor DNA dsb. Terobosan-terobosan semacam ini bahkan telah dirintis sebelum mekanisme DNA dalam organisme hidup dipahami sempurna. Inilah salah satu bentuk efek sampingan dari terobosan penelitian dasar.

Dipercaya bahwa memahami mekanisme organisme hidup akan jauh lebih mudah dengan mulai dari memahami elemen dasar pembentuknya seperti DNA diatas. Pola pikir semacam ini sebenarnya persis sama dengan apa yang dilakukan oleh para fisikawan teoritik pada awal perkembangan fisika partikel di awal abad 20. Dengan memahami partikel-partikel elementer pembentuk materi dan interaksi-interaksi yang bekerja diantaranya, manusia akhirnya mampu menjelaskan aneka fenomena alam. Ini bisa dipahami dengan mudah karena jumlah partikel elementer sangat terbatas, hanya 16 buah yang telah dikenal, dibandingkan dengan misalnya jumlah unsur kimia yang lebih dari seratus. Karena pada prinsipnya seluruh materi makroskopis pasti terbentuk dari materi mikroskopis, maka teori pada level mikroskopis harus bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena makroskopis. Sehingga tidaklah mengherankan bila seluruh teori sains berbasis teori interaksi di fisika partikel.

**

Memasuki abad bioteknologi ini kemudian banyak melahirkan pionir-pionir yang mengimplementasikan teori interaksi di fisika partikel untuk menggali pemahaman baru akan dinamika organisme hidup elementer semacam DNA. Usaha ini banyak dirintis oleh para fisikawan teori dengan modal pola pikir diatas. Diyakini dengan pemahaman akan mekanisme organisme elementer, kelak diharapkan fenomena makroskopis organisme hidup bisa dijelaskan dan diprediksi dengan akurat dan mudah.

Hal yang sama juga dilakukan oleh penulis dengan memakai pendekatan baru berbasis interaksi dan dinamika fluida (cairan) non-linier. Dinamika fluida non-linier merupakan salah satu dari masalah pelik dalam fisika yang belum terpecahkan hingga saat ini. Meski demikian teori dan pemahaman dinamika fluida secara umum sudah dikenal luas dan diaplikasikan di berbagai aspek kehidupan umat manusia. Mulai dari teknik konstruksi yang terkait dengan air (bendungan, dll) maupun teknik penanganan bahan khusus (minyak, gas, dll).

Namun berbeda dengan pendekatan fluida umumnya yang berbasis mekanika klasik di era Newton, grup penelitian penulis sejak awal tahun 2005 telah berhasil mengembangkan metoda baru penanganan dinamika fluida dengan metoda yang telah dikenal di fisika partikel. Meski awalnya pengembangan ini dimotivasi oleh masalah terkait dengan kosmologi, pada perkembangannya salah satu anggota grup, A. Sulaiman, menemukan salah satu aplikasi sampingan di biofisika. Yaitu untuk menjelaskan perlambatan gerak DNA dalam suatu medium. Dengan memodelkan DNA sebagai materi yang berada dalam suatu medium yang dimodelkan sebagai fluida, diperoleh penjelasan teoritik penurunan besaran amplitudo dinamika DNA yang berperilaku sebagai gelombang soliton.

Hasil ini merupakan satu contoh kecil kemungkinan konvergensi antara fisika teori dan bioscience pada level kuantum (fisika) dan organisme elementer (ilmu hayati). Ini bahkan berpotensi kemungkinan integrasi antara keduanya. Selama ini, meski kedua kajian ilmu ini merupakan pilar utama sains modern, pada prakteknya keduanya tidak bersinggungan dan bahkan terkesan berjalan sesuai dengan kaidahnya sendiri-sendiri. Namun dengan kecenderungan mutakhir, niscaya era 'ketidaksahabatan' ini akan segera berakhir demi kemajuan peradaban umat manusia di era 'biokuantum'. Semoga !

1. Pemodelan DNA helix sebagai gelombang soliton, untuk kemudian kajian sifat mekanis dan dinamikanya dilakukan memakai hukum-hukum fisika.

2. Bergambar bersama para mahasiswa setelah acara perpisahan mahasiswa yang akan melanjutkan studi ke luar negeri, Chandi Wijaya (no. 3 dari kiri), di rumah pribadi.

Sumber : Pikiran Rakyat (15 Desember 2005)